Wanita Muslimah Juga Wajib Belajar Ilmu Syari
WANITA MUSLIMAH JUGA WAJIB BELAJAR ILMU SYAR’I
Wanita merupakan bagian dari komponen masyarakat. Sehingga secara otomatis, mereka juga memiliki andil dan tugas dalam menata dan memperbaiki masyarakat. Tidak ada keraguan lagi, untuk melaksanakan tanggung jawab dalam membina diri sendiri dan masyarakat, mutlak membutuhkan ilmu. Konsekuensinya, kaum wanita juga harus memiliki ilmu untuk menjalankan tanggung-jawab tersebut. Karenanya, ia bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan ibadah shalatnya, ibadah puasanya, pembayaran zakatnya, ibadah hajinya, usaha pemurnian aqidahnya, aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dan semangat berlomba dalam setiap kebaikan. Ringkasnya, seluruh kandungan risalah Islam yang termaktub dalam Al-Qur`ân maupun Hadits tentang kewajiban seorang muslim, memiliki makna bahwa wanita juga berkewajiban untuk mempelajari dan mengajarkannya, baik secara teori maupun dalam amaliah nyata.
Semua orang telah memahami bahwa ajaran Islam memuat unsur ibadah, qiyâdah (penataan), siyâsah (pembinaan masyarakat) dan sosial kemasyarakatan, ekonomi dan semua sendi kehidupan. Untuk menelaah dan mendalami semua itu, tidak begitu saja bisa diperoleh tanpa usaha. Namun harus dengan upaya pembelajaran dan berguru. Karenanya, mempelajari ajaran Islam –sebuah agama yang mempunyai cakupan ilmu yang luas, integral, mendalam lagi beragam– menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Sehingga tidak mengherankan apabila Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.
Namun kenyataannya, ada saja yang berkomentar dengan sekedar bersandar pada tekstual hadits belaka tentang hukum wanita menuntut ilmu adalah nâfilah (sunnat) semata dan bukan wajib. Padahal sebenarnya kata “muslim” dalam hadits di atas bermakna orang yang telah beriman kepada risalah Islam baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sehingga penakwilan semacam itu merupakan pemaknaan yang tidak benar. Oleh karena itu, Islam menaruh perhatian yang khusus pada pendidikan dan ilmu syar’i yang bermanfaat bagi mereka.
Bagi yang memperhatikan risalah Islam yang dibawa Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah ia bisa mengetahui bahwa Islam dengan seluruh kandungan perintah dan larangannya, tidak dibatasi hanya untuk kalangan kaum Adam saja. Akan tetapi, kaum Hawa juga menjadi bagian dari perintah dan larangan risalah tersebut. Semua nash dalam al-Kitab dan as-Sunnah memberikan penjelasan adanya kesamaan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan dalam semua hal, kecuali beberapa hal saja yang memang sudah menjadi kekhususan masing-masing. Bahkan terdapat dalil yang jelas menerangkan beban syariat yang secara khusus hanya diarahkan kepada kaum wanita, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’ân.
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). [al-Ahzâb/33:34].
Begitu pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat:
وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ
(dan ucapkanlah perkataan yang baik -Qs al-Ahzâb/33 ayat 32), maksudnya, perintahkan kepada mereka untuk ikut serta beramar ma’ruf nahi munkar.
Maka, di antara peran terpenting bagi para wanita yang berkiprah di medan dakwah, yaitu mengajarkan ilmu syar’i, memberikan pengarahan dan bimbingan, dan melakukan tarbiyah dan pembinaan. Terlebih lagi dalam menangani urusan rumah tangga dan urusan suami, ia sama halnya dengan seorang wanita yang bergerak dalam aktifitas-aktifitas dakwah, secara tidak langsung memiliki peran penting melalui tutur-tutur katanya yang tertulis maupun terekam. Dengan itu, ia telah mengerahkan tenaga dan pikiran sebagai sumbangsihnya bagi agamanya.
Perlu diketahui, semenjak awal Islam, sudah terdapat perintah untuk memberikan pengajaran kepada para perempuan tentang ilmu-ilmu syar’i. Meski, pada beberapa keadaan ada yang menentang masalah ini. Namun perlu digarisbawahi, penolakan tersebut sesungguhnya pada persoalan mempelajari syair-syair yang mengandung unsur amoral, ilmu filsafat, atau mempelajari perkara-perkara yang mengakibatkan ikhtilâth (bercampurnya) antara laki-laki dengan perempuan. Akan tetapi, apabila yang dipelajari adalah ilmu syar’i yang jelas bermanfaat, maka tiada larangan di dalamnya. Bahkan terdapat anjuran untuk mendalaminya, karena ilmu syar’i tersebut bisa membenahi jiwanya, moralnya, dan perasaannya melalui aqidah yang shahîh, pedoman-pedoman agama yang luhur dan pengetahuan-pengetahuan yang akan menerangi akalnya dan memperkuat pendiriannya dalam menghadapi urusan-urusan duniawi.
Tidak Ada Perbedaan Untuk Belajar Antara Lelaki dan Wanita
Begitulah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam masalah mencari ilmu. Siapa saja, muslim dan muslimah yang enggan mempelajari hukum-hukum agama, cara berhubungan dengan Rabbnya, enggan mempelajari cara pembinaan jiwa, norma sosial, inti moral dan tata krama kehidupan, maka ia telah terjerumus dalam dosa karena meremehkan ilmu-ilmu tersebut. Yang berarti dia pun telah menyodorkan dirinya pada kehidupan nista karena keterlambatan dalam menggapai dunia dan akhirat. Padahal semua itu merupakan ilmu yang bermanfaat, dan akan membebaskan seseorang dari kebodohan dan ketidakpekaan pada kebenaran, serta menghindarkannya dari sekedar orientsi keduniaan semata.
Mereka Telah Maju
Dalam konteks kesetaraan derajat wanita dan lelaki dalam mendapatkan ilmu ini, sungguh tidak ada yang lebih membuktikannya daripada keberadaan wanita muslimah dalam naungan Islam. Mereka telah mencapai derajat yang tinggi dalam keilmuan.
Lihatlah para sahabiyyah (sahabat wanita), mereka semangat mengerjakan shalat jamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sepaya bisa memperoleh pengejaran dari Nabi. Padahal semua bersepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa seorang wanita melaksanakan shalat di rumah, itu lebih afdhal daripada shalat di masjid. Kemudian, dikarenakan jumlah mereka banyak, akhirnya Rasulullah mengkhususkan sebuah pintu masjid bagi mereka hingga sampai sekarang ini di masjid Nabawi, yang diberi nama “Babun Nisaa`”, artinya pintu khusus untuk para wanita.
Al-Baladzuri menyebutkan dalam kitab Fûhul Buldân: “Jumlah wanita muslimah terdahulu yang mempelajari baca tulis adalah separo jumlah laki-laki yang mampu baca tulis.” Al-Baladzuri juga menceritakan bahwasanya Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah cakap dalam menulis.
Diriwayatkan bahwa asy-Syifâ` al-Adawiyah dari Bani (Suku) ‘Adi, keluarga besar ‘Umar bin Khaththâb diminta Nabi untuk mengajarkan kepada istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Ummul-Mukminiin Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb cara menulis indah.
Ummul-Mukminiin ‘Aisyah binti Abi Bakar dan Ummul-Mukminîn Ummu Salamah juga memiliki kemampuan membaca, walaupun belum sampai pada derajat mahir dalam menulis. Al-Wâqidi menyebutkan bahwa Karîmah binti al-Miqdâd bisa membaca dan menulis.
‘Aisyah binti Sa’ad berkata : “Ayahku telah mengajarkan kepadaku tulis-menulis”.
Begitu pula dalam hal pengajaran, para wanita sahabiyyah juga mampu berkompetisi dengan kaum laki-laki. Misalanya, seperti halnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma telah meriwayatkan kurang lebih dua ribu hadits, begitu pula saudarinya yang bernama Asma’ juga telah meriwayatkan sekitar 50 hadits. Dan masih banyak lagi di antara muslimah sahabiyyah selain keduanya yang banyak meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah.
Ummu Darda yang dikaruniai ilmu pernah berkata: “Sungguh aku telah merasakan dan menjalankan berbagai macam ibadah, namun yang paling bisa merasuk dan menyembuhkan jiwaku ialah tatkala duduk dan dzikir di hadapan para ulama”.
Imam Nawawi sendiri mengakui kefaqihan Ummu Darda` ini dengan pujiannya: “Semua telah bersepakat tentang kefaqihan dan kehebatan Ummu Darda` dalam hal pemikiran dan pemahaman. Beliau Radhiyallahu anha hidup pada masa Mu’awiyyah”.
Demikianlah, Islam tidak melarang para wanita untuk belajar agama. Tidak mengapa bagi para wanita untuk mencari jalan kemajuan bagi dirinya. Bahkan para ahlu ilmi dan ahli fiqh zaman terdahulu maupun sekarang sepakat, bahwa menuntut ilmu syar’i yang menjadi kebutuhan pokok adalah fardhu ‘ain atas mereka. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal ini. Laki-laki dan perempuan kedudukan yang sama dalam kewajiban bersyariat, dan begitu pula dalam mendapatkan balasan di akhirat, kecuali dalam beberapa aturan syariat tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan kaum wanita dari tugas tersebut. Baik, karena aturan-aturan itu mengandung unsur yang memberatkan wanita dalam menjalankannya, atau karena memang tidak sesuai dengan tabiat wanita, atau lantaran bertentangan dengan tugas utama penciptaannya, atau mengakibatkan kerusakan sosial seperti seperti ikhtilâth (percampuran antara laki-laki dan perempuan) dan lain-lain. Adapun aturan-aturan agama lainnya, wanita memiliki kesamaan dengan kaum lelaki dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan syariat.
Ada satu riwayat, bahwasanya Asma` binti Yazid bin Sakan Radhiyallahu anha pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata: “Aku adalah seorang utusan dari orang-orang yang berada di belakangku dari sejumlah wanita muslimah. Semuanya berkata dan berpendapat seperti perkataan dan pendapatku sekarang ini, ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutusmu untuk kalangan laki-laki dan perempuan’. Kami semua juga telah beriman dan dan berittiba` (mengikuti) kepadamu. Namun kami –para wanita- memiliki gerak terbatas, menjadi pihak yang menangani urusan rumah tangga belaka. Sedangkan kaum laki-laki bisa memperoleh keutamaan yang sangat banyak dengan menunaikan shalat berjama’ah, ikut mengiringi jenazah dan bisa berangkat jihad. Tatkala mereka pergi berjihad, maka kamilah yang menjaga harta-harta dan merawat anak-anak mereka. Maka, apakah kami juga dapat menuai pahala yang sama dengan mereka, wahai Rasulullah?”
Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat, seraya berseru: “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih baik daripada pertanyan wanita ini?”
Para sahabat Radhiyallahu anhum menjawab: “Belum pernah, wahai Rasulullah.”
Lantas Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Pulanglah engkau wahai Asma`, dan beritahukan kepada para wanita di belakangmu bahwa baiknya perlakuan salah seorang dari kalian kepada suaminya, semangatnya dalam mencari keridhaan (suami)nya dan terus mengikuti keinginan suaminya, maka pahala itu semua sama dengan apa engkau sebutkan tadi (tentang keutamaan kaum lelaki yang berpahala besar)”.
Kemudian Asma` pulang sambil mengucapkan tahlil dan takbir dengan penuh kegembiraan mendengar jawaban dari Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jangan Terperdaya Oleh Propaganda Barat
Namun ironisnya pada abad-abad terakhir ini, kaum wanita terhalang untuk mencari ilmu. Sehingga ketidaktahuannya tentang agama menimbulkan dampak kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin. Ibu-ibu yang tidak memiliki ilmu akan melahirkan anak-anak yang bodoh dan lemah akal.
Seorang penyair melantunkan:
وَإِذَ النِّسَاءُ نَشَأَتْ فِيْ أُمِّيَةٍ رَضَعَ الرِّجَالُ جَهَالَةُ وَخُمُولاً
Apabila wanita tumbuh dalam kebodohan,
maka kaum laki-laki menelan kebodohan dan kelemahan.
Oleh karenanya, termasuk kemajuan yang terpuji, yakni dengan dibukanya pintu pendidikan bagi remaja putri dan meningkatnya istri-istri dan ibu-ibu yang membekali diri dengan ilmu syar’i di tengah masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan kebimbangan dalam masalah hukum agama pada seorang pun.
Adapun ilmu yang wajib dimengerti oleh setiap muslim dan muslimah, ialah ilmu-ilmu agama yang terpenting (dharuuri). Bukan ilmu yang mengandung unsur kedustaan yang dipropagandakan oleh orang-orang yang berkiblat ke negeri Barat dan para penyeru kebebasan mutlak, pencampakan rasa malu dan melakukan tindakan amoral dengan mengatasnamakan mencerdaskan otak. Mereka menamakan tarian, belajar nyanyian, musik, drama, film dan sandiwara sebagai ilmu. Begitu pula segala yang bisa menjadi pintu kerusakan wanita, entah bersumber dari budaya Barat atau Timur sebagai ilmu yang harus dipelajari.
Itu semua merupakan propaganda dusta dan perbuatan negatif yang meruntuhkan aspek kejujuran, nilai-nilai kebenaran dan ilmu yang shahîh.
Adakah korelasi antara pendidikan dan kaum wanita dengan tabarruj (bersolek), pamer kecantikan dan berjalan di jalanan tanpa arah dan tujuan layaknya wanita telanjang? Apakah aurat yang tersingkap dan pakaian sempit, transparan lagi memperlihatkan lekuk tubuh secara nyata merupakan sarana untuk memudahkan ilmu mudah untuk dipahami? Apakah hubungan itu semua dengan perolehan ilmu?
Sungguh termasuk kesalahan fatal yang paling mendasar, yakni mengadopsi budaya dari dunia Barat maupun Timur yang baik -kalau ada- atau buruk tanpa seleksi dan pemilahan. Padahal, budaya yang pantas bagi mereka belum tentu pantas untuk kita. Sebab, ajaran agama kita bertentangan dengan kebiasan mereka. Dan gaya hidup kita tidak selaras dengan kebiasaan mereka.
Adapun mengikut di belakang propaganda kebebasan dan berpartisipasi di belakang kepalsuan-kepalsuan, hanya akan menyeret kita pada musibah demi musibah, kehinaan, dan kehilangan jati diri serta kehancuran.
Semoga Allah mengentaskan setiap muslimah dari lumpur kemaksiatan. Membimbing mereka di atas jalan yang lurus dan bisa kembali di atas aqidah shahiihah, bimbingan dan arahan-Nya, hingga mereka semua bisa mengeyam kebahagiaan di dunia dan akherat.
Walhamdulillahi Rabbil ‘Âlamîn.
(Diterjemahkan secara bebas oleh Ustad Abu Ziyaad Agus Santoso dari makalah Prof. Dr. Shâlih as-Sadlân, Majalah al-Ashâlah, Edisi 29, Tahun V, 15 Sya’ban 1421 H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2604-wanita-muslimah-juga-wajib-belajar-ilmu-syari.html